Minggu, 14 Agustus 2016

Dilema Sertifikasi


“Assalamu’alaikum, bagaimana kabarnya?”.
Sms dari teman sekolahku saat duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah dulu. Sms itu dikirim pada jam 22.00 WIB tadi malam dan baru aku buka di pagi hari yang belum sempat aku balas.Tepat di jam 06.00 WIB dia berkali-kali telpon tetapi seperti biasa kegiatan wanita di pagi hari membuatku harus mengabaikan panggilan itu karena di pagi hari adalah jadwal kegiatan yang super padat buatku. Kegiatan yang dimulai dari bersih-bersih rumah, masak, sholat dluha, juga persiapan kerja. Panggilan telpon itu memang sengaja aku abaikan karena aku berniat menelpon dia kembali nantinya saat sudah mulai senggang waktuku. SMS pun kembali masuk:
“Angkat telponku, aku ada keperluan bentar”.
Di jam 06.30 WIB aku telpon balik. Isi pembicaraan kami adalah dia menawarkan kepadaku lowongan pekerjaan di sebuah sekolahan untuk mengajar kimia. Di awal pembicaraan kami, dia menanyakan apakah aku sudah sertifikasi atau belum. Jam mengajarku sudah cukup atau tidak untuk pemenuhan jam sertifikasi. Termasuk seakan menegaskan kepadaku bahwa perkembanganku di bidang kimia atau di bidang yang lain mungkin aku tidak bisa berkembang manakala aku hanya mengandalkan SMA yang aku tempati saat ini. Sekolahan tersebut meminta agar guru yang mengajar tersebut mengambil SATMINKAL di sana dan diminta waktunya 3-4 hari. Bahkan dia pun menawarkan akan meloby sekolahan tersebut agar tidak meminta aku mengambil SATMINKAL di sana dan waktu mengajarnya hanya 3 hari saja, bila aku berkenan mengajar di sana. Aku paham niat baik dari temanku tersebut. Dia memberikan informasi lowongan pekerjaan di sekolahan tersebut karena dia merasa ada beberapa temannya yang mungkin menurut dia masih belum mapan. Karena lowongan tersebut tidak hanya disampaikan kepadaku tapi juga temanku yang jurusan ekonomi yang dulunya kami satu almamater di MTs juga. Terlebih temanku yang jurusan ekonomi itu kerjanya sekarang serabutan. Tapi entah tawaran itu diambil olehnya atau tidak, yang jelas dia dulu pernah mengajar di sebuah sekolahan juga. Aturan-aturan sekolahan yang semakin tidak sejalan dengan hati nurani membuatnya mengundurkan diri dari sekolahan tersebut. Ada satu filosofi darinya yang aku ingat. Dia mengatakan bahwa hubungan guru dengan murid itu laksana kayu yang tegak berdiri di tengah lapangan. Kayu itu sebagai gurunya sedangkan bayangan dari kayu itu sebagai murid. Kayu yang tegak lurus saja kadang memiliki bayangan yang bengkok apalagi kayu yang bengkok maka bagaimana hasil bayangannya nanti. Ketika norma-norma ketidak jujuran sudah mulai memudar dalam dunia pendidikan termasuk seakan menuntut guru juga harus berperan layaknya demikian maka itulah salah satu alasan yang membuat dia keluar dari dunia pendidikan.
Kembali pada tawaran pekerjaan kepadaku tadi. Sebelum dia berbicara lebih jauh aku mengatakan bahwa aku memang belum sertifikasi dan jam mengajarku juga tidak cukup untuk memenuhinya tapi memang bukan itu yang menjadi tujuanku mengajar di sebuah sekolahan. Sejak awal aku sudah niatkan sebagai pengabdian. Lagi pula dengan 17 jam mengajar di tambah mengajar TPQ di sore hari itu saja sudah membuatku susah untuk membagi waktu dan tenaga apalagi harus menambah jam mengajar dan jarak sekolahan dengan tempat tinggalku juga cukup jauh. Sebelum kami mengahkiri obrolan kami dia masih memintaku untuk memikirkannya lagi.
Desah nafas panjangku aku hempaskan. Hmmm aku tidak ingin dan tidak akan memikirkannya lagi. Kalau aku menerima tawaran itu berarti aku kembali ke titik nol lagi, mengulang alur kehidupan beberapa tahun yang lalu. Alur kehidupan di mana 5 tahun yang lalu selain aku mengajar di sekolahan SMA yang aku tempati saat ini juga mengajar di MA Swasta. Setelah dua tahun mengajar di sana aku putuskan untuk keluar. Ada beberapa alasan kenapa aku kekeh meninggalkan sekolahan tersebut walaupun banyak orang yang mengingatkanku agar tetap bertahan di sana termasuk dengan alasan jam mengajar di sana yang cukup banyak sebagai pemenuhan jam sertifikasi. Alasan yang pertama jaraknya yang cukup jauh. Jarak sekolahan dari rumahku sekitar 17 KM. Selain itu sepanjang jalan hampir keseluruhan badan jalan rusak berat. Aku diberikan waktu dua hari dan itu full 14 jam aku mengajar kimia. Pihak sekolahan mengikuti jam mengajarku dan memaksakan jam itu bisa menjadi dua hari mengingat sekolahan butuh guru kimia dan jarak rumahku yang demikian jauh. Yang kedua adalah sejak aku mulai merintis usaha aksesoris telah banyak menyita waktuku sehingga aku merasa tidak bisa maksimal lagi mengajar di dua tempat. Biasanya aku paling rajin mengoreksi dengan detil tugas anak-anak, bisa mempetakan kemampuan anak-anak dan ternyata tidak bisa aku lakukan lagi. Apa gunanya aku memberikan tugas-tugas, Ulangan harian, PR kalau aku tidak mengkoreksi dan mengevaluasi kerjaan mereka. Sungguh terhinanya aku, hanya karena keegoisanku maka mereka yang akan jadi korbannya. Alasan yang ketiga adalah aku juga mengelola tempat kursus bahasa Inggris yang pastinya juga menyita waktuku. Dan alasan yang terakhir adalah aku tidak ingin lebih merepotkan orang tuaku lagi. Bagaimana tidak repot, setiap aku pulang kerja dari sana aku selalu merasa capek dan pegal-pegal di pundakku sehingga kerap ibuku memijat pundakku. Selain aku repotkan dengan pijat, aku juga yang banyak menghabiskan bensin jualannya hehehe. Untuk ke sekolahan tersebut butuh 2 Liter bensin setiap harinya. Entah gajikku saat itu cukup atau tidak untuk mengganti uang bensin itu.
Semakin lama aku semakin berfikir sejatinya apa yang ingin aku cari dari semua kesibukan itu. Kalau niatku untuk mengabdi pada dunia pendidikan bukan seperti itu caranya. Bukan malah mengorbakan salah satu institusi pendidikan demi kepentinganku semata. Kalau niatnya memang untuk mengabdi di dunia pendidikan tidak cukupkah satu sekolahan saja sebagai wadah abdi. Fokus mencurahkan dan memaksimalkan tenaga dan fikiran untuk sekolahan tersebut. Itu mungkin justru lebih baik daripada berjalan setengah-setengah. Demi pengabdian itu pula aku juga mulai memutuskan untuk tak lagi mencoba mengambil tawaran beasiswa S2. Setelah sebelumnya aku memang pernah mencoba dan gagal. Bukan kegagalan itu yang membuatku tak ingin lagi menggapai keinginan itu. Walaupun pihak jurusan tempat aku kuliah dulu masih menghubungiku untuk mengajukan kembali beasiswa S2 di tahun berikutnya akan tetapi ada alasan pokok yang membuat aku tak ingin mengambil langkah itu lagi. Lagi-lagi pertanyaan ”apa yang aku cari?” yang muncul dalam pikiranku. Niat menuntut ilmu ke jenjang yang lebih tinggi sampai sekarang tak pernah usang tetapi aku lebih memandang pada kebutuhan. Memandang makna dari sebuah kesuksesan. Sukses itu apakah dengan aku mendapatkan beasiswa S2 kemudian menjadi dosen di kampus itu adalah tolak ukur sebuah kesuksesan buatku? Ataukah sukses itu adalah dengan aku tetap menjadi guru di SMA swasta dengan standar biasa yang berada di desa yang orang-orang mengatakan bahwa hidupku tidak akan pernah berubah, yang hanya akan begitu-begitu saja?. Setelah berfikir panjang ternyata sejatinya Sukses bagiku adalah seberapa besar aku dibutuhkan dalam situasi dan kondisi itu. Oleh karena itu aku lebih memilih untuk tetap bertahan di SMA yang aku tempati mengajar sekarang. Sebuah kampus mungkin tidak akan pernah kekurangan tenaga pengajar atau tenaga-tenaga yang lain karena banyak yang mau mengisi bahkan berebutan pelamarnya. Akan tetapi sebuah sekolahan yang notabane nya belum maju dan berada di desa, siapa yang akan merebutkan untuk melakukan pengabdian di situ?. Keputusan itu sudah aku bulatkan sejak lima tahun yang lalu. Dan bila mana aku mengambil tawaran pekerjaan itu sebagai tambahan jam mengajar untuk pemenuhan jam setifikasi itu artinya aku telah menghapus alur kehidupan yang telah aku lalui selama lima tahun ini dan kembali ke nol lagi.

1 komentar:

  1. Kadang saya juga gak habis pikir..gara-gara serifikasi kok jadi pontang panting ngajarnya..lah kapan jadi guru yang berkualitas kalo begitu

    BalasHapus