“Assalamu’alaikum, bagaimana
kabarnya?”.
Sms dari teman sekolahku saat duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah dulu.
Sms itu dikirim pada jam 22.00 WIB tadi malam dan baru aku buka di pagi hari
yang belum sempat aku balas.Tepat di jam 06.00 WIB dia berkali-kali telpon
tetapi seperti biasa kegiatan wanita di pagi hari membuatku harus mengabaikan
panggilan itu karena di pagi hari adalah jadwal kegiatan yang super padat
buatku. Kegiatan yang dimulai dari bersih-bersih rumah, masak, sholat dluha,
juga persiapan kerja. Panggilan telpon itu memang sengaja aku abaikan karena
aku berniat menelpon dia kembali nantinya saat sudah mulai senggang waktuku. SMS
pun kembali masuk:
“Angkat telponku, aku ada keperluan
bentar”.
Di jam 06.30 WIB aku telpon balik. Isi pembicaraan kami adalah dia
menawarkan kepadaku lowongan pekerjaan di sebuah sekolahan untuk mengajar
kimia. Di awal pembicaraan kami, dia menanyakan apakah aku sudah sertifikasi
atau belum. Jam mengajarku sudah cukup atau tidak untuk pemenuhan jam
sertifikasi. Termasuk seakan menegaskan kepadaku bahwa perkembanganku di bidang
kimia atau di bidang yang lain mungkin aku tidak bisa berkembang manakala aku
hanya mengandalkan SMA yang aku tempati saat ini. Sekolahan tersebut meminta
agar guru yang mengajar tersebut mengambil SATMINKAL di sana dan diminta
waktunya 3-4 hari. Bahkan dia pun menawarkan akan meloby sekolahan tersebut
agar tidak meminta aku mengambil SATMINKAL di sana dan waktu mengajarnya hanya
3 hari saja, bila aku berkenan mengajar di sana. Aku paham niat baik dari
temanku tersebut. Dia memberikan informasi lowongan pekerjaan di sekolahan
tersebut karena dia merasa ada beberapa temannya yang mungkin menurut dia masih
belum mapan. Karena lowongan tersebut tidak hanya disampaikan kepadaku tapi
juga temanku yang jurusan ekonomi yang dulunya kami satu almamater di MTs juga.
Terlebih temanku yang jurusan ekonomi itu kerjanya sekarang serabutan. Tapi
entah tawaran itu diambil olehnya atau tidak, yang jelas dia dulu pernah
mengajar di sebuah sekolahan juga. Aturan-aturan sekolahan yang semakin tidak
sejalan dengan hati nurani membuatnya mengundurkan diri dari sekolahan
tersebut. Ada satu filosofi darinya yang aku ingat. Dia mengatakan bahwa
hubungan guru dengan murid itu laksana kayu yang tegak berdiri di tengah lapangan.
Kayu itu sebagai gurunya sedangkan bayangan dari kayu itu sebagai murid. Kayu
yang tegak lurus saja kadang memiliki bayangan yang bengkok apalagi kayu yang
bengkok maka bagaimana hasil bayangannya nanti. Ketika norma-norma ketidak
jujuran sudah mulai memudar dalam dunia pendidikan termasuk seakan menuntut
guru juga harus berperan layaknya demikian maka itulah salah satu alasan yang
membuat dia keluar dari dunia pendidikan.
Kembali pada tawaran pekerjaan kepadaku tadi. Sebelum dia berbicara lebih
jauh aku mengatakan bahwa aku memang belum sertifikasi dan jam mengajarku juga
tidak cukup untuk memenuhinya tapi memang bukan itu yang menjadi tujuanku
mengajar di sebuah sekolahan. Sejak awal aku sudah niatkan sebagai pengabdian. Lagi
pula dengan 17 jam mengajar di tambah mengajar TPQ di sore hari itu saja sudah
membuatku susah untuk membagi waktu dan tenaga apalagi harus menambah jam
mengajar dan jarak sekolahan dengan tempat tinggalku juga cukup jauh. Sebelum
kami mengahkiri obrolan kami dia masih memintaku untuk memikirkannya lagi.
Desah nafas panjangku aku hempaskan. Hmmm aku tidak ingin dan tidak akan
memikirkannya lagi. Kalau aku menerima tawaran itu berarti aku kembali ke titik
nol lagi, mengulang alur kehidupan beberapa tahun yang lalu. Alur kehidupan di
mana 5 tahun yang lalu selain aku mengajar di sekolahan SMA yang aku tempati
saat ini juga mengajar di MA Swasta. Setelah dua tahun mengajar di sana aku
putuskan untuk keluar. Ada beberapa alasan kenapa aku kekeh meninggalkan
sekolahan tersebut walaupun banyak orang yang mengingatkanku agar tetap
bertahan di sana termasuk dengan alasan jam mengajar di sana yang cukup banyak
sebagai pemenuhan jam sertifikasi. Alasan yang pertama jaraknya yang cukup
jauh. Jarak sekolahan dari rumahku sekitar 17 KM. Selain itu sepanjang jalan
hampir keseluruhan badan jalan rusak berat. Aku diberikan waktu dua hari dan
itu full 14 jam aku mengajar kimia. Pihak sekolahan mengikuti jam mengajarku
dan memaksakan jam itu bisa menjadi dua hari mengingat sekolahan butuh guru
kimia dan jarak rumahku yang demikian jauh. Yang kedua adalah sejak aku mulai
merintis usaha aksesoris telah banyak menyita waktuku sehingga aku merasa tidak
bisa maksimal lagi mengajar di dua tempat. Biasanya aku paling rajin mengoreksi
dengan detil tugas anak-anak, bisa mempetakan kemampuan anak-anak dan ternyata
tidak bisa aku lakukan lagi. Apa gunanya aku memberikan tugas-tugas, Ulangan
harian, PR kalau aku tidak mengkoreksi dan mengevaluasi kerjaan mereka. Sungguh
terhinanya aku, hanya karena keegoisanku maka mereka yang akan jadi korbannya.
Alasan yang ketiga adalah aku juga mengelola tempat kursus bahasa Inggris yang
pastinya juga menyita waktuku. Dan alasan yang terakhir adalah aku tidak ingin
lebih merepotkan orang tuaku lagi. Bagaimana tidak repot, setiap aku pulang
kerja dari sana aku selalu merasa capek dan pegal-pegal di pundakku sehingga
kerap ibuku memijat pundakku. Selain aku repotkan dengan pijat, aku juga yang
banyak menghabiskan bensin jualannya hehehe. Untuk ke sekolahan tersebut butuh
2 Liter bensin setiap harinya. Entah gajikku saat itu cukup atau tidak untuk
mengganti uang bensin itu.
Semakin lama aku semakin berfikir sejatinya apa yang ingin aku cari dari
semua kesibukan itu. Kalau niatku untuk mengabdi pada dunia pendidikan bukan
seperti itu caranya. Bukan malah mengorbakan salah satu institusi pendidikan
demi kepentinganku semata. Kalau niatnya memang untuk mengabdi di dunia
pendidikan tidak cukupkah satu sekolahan saja sebagai wadah abdi. Fokus
mencurahkan dan memaksimalkan tenaga dan fikiran untuk sekolahan tersebut. Itu
mungkin justru lebih baik daripada berjalan setengah-setengah. Demi pengabdian
itu pula aku juga mulai memutuskan untuk tak lagi mencoba mengambil tawaran
beasiswa S2. Setelah sebelumnya aku memang pernah mencoba dan gagal. Bukan
kegagalan itu yang membuatku tak ingin lagi menggapai keinginan itu. Walaupun
pihak jurusan tempat aku kuliah dulu masih menghubungiku untuk mengajukan
kembali beasiswa S2 di tahun berikutnya akan tetapi ada alasan pokok yang membuat
aku tak ingin mengambil langkah itu lagi. Lagi-lagi pertanyaan ”apa yang aku
cari?” yang muncul dalam pikiranku. Niat menuntut ilmu ke jenjang yang lebih
tinggi sampai sekarang tak pernah usang tetapi aku lebih memandang pada
kebutuhan. Memandang makna dari sebuah kesuksesan. Sukses itu apakah dengan aku
mendapatkan beasiswa S2 kemudian menjadi dosen di kampus itu adalah tolak ukur
sebuah kesuksesan buatku? Ataukah sukses itu adalah dengan aku tetap menjadi
guru di SMA swasta dengan standar biasa yang berada di desa yang orang-orang
mengatakan bahwa hidupku tidak akan pernah berubah, yang hanya akan
begitu-begitu saja?. Setelah berfikir panjang ternyata sejatinya Sukses bagiku
adalah seberapa besar aku dibutuhkan dalam situasi dan kondisi itu. Oleh karena
itu aku lebih memilih untuk tetap bertahan di SMA yang aku tempati mengajar
sekarang. Sebuah kampus mungkin tidak akan pernah kekurangan tenaga pengajar
atau tenaga-tenaga yang lain karena banyak yang mau mengisi bahkan berebutan
pelamarnya. Akan tetapi sebuah sekolahan yang notabane nya belum maju dan
berada di desa, siapa yang akan merebutkan untuk melakukan pengabdian di situ?.
Keputusan itu sudah aku bulatkan sejak lima tahun yang lalu. Dan bila mana aku
mengambil tawaran pekerjaan itu sebagai tambahan jam mengajar untuk pemenuhan
jam setifikasi itu artinya aku telah menghapus alur kehidupan yang telah aku
lalui selama lima tahun ini dan kembali ke nol lagi.
Kadang saya juga gak habis pikir..gara-gara serifikasi kok jadi pontang panting ngajarnya..lah kapan jadi guru yang berkualitas kalo begitu
BalasHapus