Rabu, 19 April 2017

BAHAGIA DALAM KEBOHONGAN



Terkadang kehidupan ini terlihat lucu. Seringkali kita lebih bahagia hidup dalam kebohongan daripada hidup dalam kenyataan atau kebenaran. Lho kok bisa? Ya bisa saja, nyatanya aku mengalaminya. Saat ini aku lebih bahagia ketika aku berhasil membohongi diri sendiri ketimbang membuka mata dan pikiran untuk menerima sebuah kebenaran.  Salah satu contohnya seperti ini:

“ Dalam 1 minggu ini dua hari berturut-turut aku ditawari oleh rekan kerjaku untuk dita’arufkan dengan temannya. Hari berikutnya tiba-tiba ada seorang ibu-ibu yang saat aku sedang mengantarkan makanan ke rumahnya,dia menghentikanku pulang dan ingin menta’arufkan aku dengan seseorang. Dengan yakinnya aku memberikan jawaban pada keduanya bahwa aku sudah punya (calon pasangan) sembari meminta maaf sebagai bentuk penghormatanku pada mereka. Aku memberikan jawaban seperti itu karena aku sudah berusaha meyakinkan diriku bahwa kelak aku akan hidup bersama seorang pria yang aku kenal sejak 2 bulan yang lalu dalam bingkai ta’aruf,  walaupun sebenarnya sampai detik ini aku juga tidak mengerti tentang keseriusan dia. Dan hari ini ketika aku mendapati pria itu memberikan komentar pada akun media sosial seorang gadis dengan mengatakan “aku juga jomblo” seketika itu juga rasa “NYESEK” bergemuruh di dadaku. “

Hubungan kebohongan dan kebenaran dari contoh di atas dengan kebahagiaan dan kesedihan dalam kehidupan adalah:
Kebenaran yang pertama: Pria itu memang sedang jomblo alias single tapi anehnya aku merasakan kesedihan padahal memang benar dia belum atau tidak mempunyai ikatan apapun denganku. Perkara komentar itu iseng atau bukan yang jelas tidak ada lanjutan kalimat setelahnya. Jadi biarkan saja komentar tersebut dimaknai sebagai sebuah kebenaran.
Kebenaran yang kedua: Sebenarnya aku juga belum punya (calon pasangan)tapi aku membohongi diri sendiri bahwa aku sudah punya padahal aku pun belum atau tidak punya ikatan apapun dengannya. Kebohongan yang didasari perasaanku saja bahwa dia adalah milikku dan aku adalah miliknya. Dan ternyata kebohongan ini memberiku rasa bahagia.
Nah pemaparan di atas itu baru satu salah contoh dari lucunya kehidupan ini. Kehidupan yang lucu tersebut terkadang dipengaruhi oleh imajinasi kita. Kita sebagai manusia terkadang terjebak dalam imajinasi yang kita ciptakan sendiri. Imajinasi yang menyenangkan atau yang menyedihkan. Imajinasi yang menyakitkan atau yang melenakan. Imajinasi yang membahagiakan atau yang mengecewakan. Dan imajinasi itu sejatinya kembali pada diri kita karena kitalah yang memilih puzzle-puzzle imaginasi tersebut dan kita pula lah yang merangkainya. Apakah kita akan merangkainya dalam bingkai yang membahagiakan atau yang menyedihkan. Apakah kita  akan merekontruksi imajinasi tersebut atau membiarkannya seperti itu saja.
We can choose our imagination. We can make a decision for our life: Life in happiness or sadness.