“Apa? menikah? Tanpa restu orang
tuamu?”. Nada suaraku meninggi.
“ Iya. Aku hanya punya Hp ini. Nanti
aku jual buat mengawali hidup kita di sini. Aku akan segera cari kerja di sana.”
“ Sudahlah, lebih baik kamu pulang.
Dan ikuti saja kehendak orang tuamu. Memangnya ada jaminan dengan aku menikah
denganmu kamu akan tetap mencintaiku sampai tua?. “
“Kok bilang seperti itu!”. Wajahnya
mulai menunjukkan ketidak sukaannya dengan perkataanku.
“Bukankah dengan menemui gadis itu
kamu sudah meragukan cintaku yang selama ini aku percayakan kepada-mu. Saat itu
di mana posisiku? Saat itu apa yang kamu pikirkan tentang aku? Saat di mana aku
sudah bermimpi akan membina rumah tangga denganmu tapi saat itu kamu mencoba
untuk berpaling dariku”.
Wajahnya tertunduk dan terdiam.
“Iya aku memang salah. Aku minta
maaf. Saat itu aku hanya menuruti saran saudaraku untuk melihat gadis tsb. Aku
sangat sayang sama kamu. Aku tidak bisa berpisah denganmu. Sakit jika aku harus
meninggalkanmu. Kenapa kamu buat aku seperti ini. Bukankah kamu sebenarnya
tidak ingin hubungan kita berakhir? Bukankah kamu juga sangat sayang sama aku?“
Matanya terlihat sembab.
“ Tak ada gunanya penyesalan. Semua
sudah terlanjur. Bukankah kedua keluarga sudah membuat kesepakatan pernikahan
kalian. Laki – laki itu yang dipegang
ucapannya. Apa yang diucapkan akan lahir suatu bentuk tanggung jawab. Kalau
tidak bisa melaksanakan ucapannya berarti laki – laki tersebut dipastikan tidak
bertanggung jawab.” Suaraku mulai datar.
Hari – hari ku lalui dengan
perasaan terluka. Sempat aku berfikir bagaimana caranya aku tidak melewati hari
di mana dia akan melangsungkan pernikahan. Apakah aku harus minum obat tidur
selama sehari semalam agar aku tak menemui hari itu. Berharap bangun dari
tidurku tidak terjadi apa – apa dalam hidupku.
“ Bagaimana keadaanmu? “ Suaranya
terdengar berat.
“ Keadaanku baik. Bagaimana dengan
persiapan pernikahannya? “. Suaraku aku tegarkan. Berharap agar dia tahu bahwa
keadaanku sangat baik. Semakin aku menahannya suaraku semakin tersekat. Dan
saat itulah pecah isakku. Suaranya begitu aku rindukan. Suaranya mungkin tak
akan aku dengar lagi setelah ini.
“ Aku tidak mempersiapkan apapun. Aku tidak
akan berhenti mencintaimu walau aku tak bisa memilikimu. Aku berangkat.”
Pamitnya sebelum berangkat melaksanakan ijab – qobul.
Aku benar – benar tidak percaya ini
akan terjadi. Dadaku sesak. Aku tidak bisa bernafas. Tanganku masih memegang Hp
di telingaku. Kaki dan tanganku pun mulai lemas.
“Tuhan selamatkan aku”. Gumamku.
Oh Tuhan, inikah jawaban-Mu setiap
kali aku berfikir bahwa aku ingin mengakhiri hubunganku dengannya. Bukan karena
aku tidak mencintainya tapi aku lebih berfikir yang aku lakukan adalah dosa.
Berfikir bagaimana caranya aku berpisah dengannya. Hubungan yang tidak halal
itu membuatku terus terjerumus dalam dosa. Aku sekarang terlanjur sangat
mencintainya. Tuhan andaikan dari dulu
aku tau bahwa berpacaran tidak pernah memberikan jaminan bagiku akan berjodoh
dengannya, maka aku tidak akan mengambil langkah ini.
Aku akan mengambil jalan ini karena
Engkau Tuhan. Aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku tidak akan mengulangi lagi
jalan ini. Aku percaya pada akhirnya nanti Engkau akan mempertemukan aku dengan
jodohku dengan cara yang Engkau ridloi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar