Terkadang
kehidupan ini terlihat lucu. Seringkali kita lebih bahagia hidup dalam
kebohongan daripada hidup dalam kenyataan atau kebenaran. Lho kok bisa? Ya bisa
saja, nyatanya aku mengalaminya. Saat ini aku lebih bahagia ketika aku berhasil
membohongi diri sendiri ketimbang membuka mata dan pikiran untuk menerima
sebuah kebenaran. Salah satu contohnya
seperti ini:
“ Dalam 1 minggu ini dua hari berturut-turut aku ditawari oleh rekan
kerjaku untuk dita’arufkan dengan temannya. Hari berikutnya tiba-tiba ada
seorang ibu-ibu yang saat aku sedang mengantarkan makanan ke rumahnya,dia menghentikanku
pulang dan ingin menta’arufkan aku dengan seseorang. Dengan yakinnya aku
memberikan jawaban pada keduanya bahwa aku sudah punya (calon pasangan) sembari
meminta maaf sebagai bentuk penghormatanku pada mereka. Aku memberikan jawaban
seperti itu karena aku sudah berusaha meyakinkan diriku bahwa kelak aku akan
hidup bersama seorang pria yang aku kenal sejak 2 bulan yang lalu dalam bingkai
ta’aruf, walaupun sebenarnya sampai
detik ini aku juga tidak mengerti tentang keseriusan dia. Dan hari ini ketika
aku mendapati pria itu memberikan komentar pada akun media sosial seorang gadis
dengan mengatakan “aku juga jomblo” seketika itu juga rasa “NYESEK” bergemuruh
di dadaku. “
Hubungan
kebohongan dan kebenaran dari contoh di atas dengan kebahagiaan dan kesedihan dalam
kehidupan adalah:
Kebenaran yang
pertama: Pria itu memang sedang jomblo alias single tapi anehnya aku merasakan
kesedihan padahal memang benar dia belum atau tidak mempunyai ikatan apapun
denganku. Perkara komentar itu iseng atau bukan yang jelas tidak ada lanjutan
kalimat setelahnya. Jadi biarkan saja komentar tersebut dimaknai sebagai sebuah
kebenaran.
Kebenaran yang
kedua: Sebenarnya aku juga belum punya (calon pasangan)tapi aku membohongi diri
sendiri bahwa aku sudah punya padahal aku pun belum atau tidak punya ikatan
apapun dengannya. Kebohongan yang didasari perasaanku saja bahwa dia adalah
milikku dan aku adalah miliknya. Dan ternyata kebohongan ini memberiku rasa
bahagia.
Nah pemaparan di
atas itu baru satu salah contoh dari lucunya kehidupan ini. Kehidupan yang lucu
tersebut terkadang dipengaruhi oleh imajinasi kita. Kita sebagai manusia terkadang
terjebak dalam imajinasi yang kita ciptakan sendiri. Imajinasi yang
menyenangkan atau yang menyedihkan. Imajinasi yang menyakitkan atau yang
melenakan. Imajinasi yang membahagiakan atau yang mengecewakan. Dan imajinasi
itu sejatinya kembali pada diri kita karena kitalah yang memilih puzzle-puzzle
imaginasi tersebut dan kita pula lah yang merangkainya. Apakah kita akan
merangkainya dalam bingkai yang membahagiakan atau yang menyedihkan. Apakah
kita akan merekontruksi imajinasi
tersebut atau membiarkannya seperti itu saja.
We can
choose our imagination. We can make a decision for our life: Life in happiness
or sadness.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar